Dinda merenung di kamarnya.Entah sudah berapa tetes airmata
membasahi bantal tidurnya.Entah sudah berapa helai tissue yang berserakan di
bawah tempat tidurnya. Dan, entah sudah berapa lama ia melamun dan merenung di
dalam kamarnya.
Rentetan
kejadian tadi siang masih terngiang di kepalanya.Rumah sakit, pemakaman, dan
rumah, silih berganti di otaknya.Dinda, yang masih mengenakan baju hitamnya
kembali meneteskan airmata.Ia masih tak percaya, bahwa sahabatnya akan begitu
cepat meninggalkannya. Beribu kejadian yang telah ia buat, kini hanya menjadi
buih-buih kenangan.
Dinda kini
merasa sendiri, merasa tak memiliki siapa-siapa.Rasa kehilangan masih
menghinggap di hatinya.Mungkin bukan hanya Dinda yang merasakan, tapi semua
orang juga.Dina maulina, sahabat karibnya sejak SMP hingga menjejak ke jenjang
SMA, kini meninggalkannya untuk selama-lamanya.Dina yang memiliki kanker otak
stadium 2 itu semakin parah.Beberapa minggu sebelum dia meninggal, darah terus
mengucur dari hidungnya.Kepala pening terus melandanya.Namun, Dina tak mau
menyerah.Ia terus berusaha melawan penyakitnya itu. Namun apadaya, Tuhan
berkehendak lain. Mungkin benar kata orang-orang, orang yang baik itu biasanya
nyawanya diambil lebih dulu.Dan kini itu semua terjadi pada Dina.
Dina
maulina, atau yang akrab dipanggil Dina adalah cewek cantik, sangat pintar, dan
memiliki hati yang sangat mulia.Dina dan Dinda bersahabat sejak mereka masih
berada di bangku SMP. Meskipun nama mereka hanya berbeda satu huruf, namun
sifat mereka berbanding terbalik 360 derajat. Dinda maulinda adalah cewek
tomboy, ugal-ugal an, otak pas-pas an, dan sangat cuek. Namun yang namanya
persahabatan itu adalah saling mengisi satu sama lain. Disaat Dinda sedang
marah, Dina selalu menjadi air penyejuk hatinya.Disaat Dina sedang diganggu
oleh pria, Dinda selalu ada untuk menjadi tamengnya.Persahabatan mereka begitu
sempurna. Namun kini semuanya hanya akan menjadi kenangan yang takkan
terlupakan oleh Dinda.
Ketika
tadi berkunjung di rumah Dina, Dinda menemukan buku harian di tas Dina yang ia
bawa dari rumah sakit. “Mungkin itu punya Dina,” pikir Dinda lalu memasukkan
buku itu ke dalam tas nya. Masih dengan linangan air mata, Dinda meraih tasnya
lalu mengambil buku harian itu.Ia membuka lembaran pertama, ada nama Dina
Maulina tertera di sana. “ternyata benar, ini milik Dina,” batin Dinda dalam
hati. Lalu ia membuka lembaran kedua dalam buku harian itu. Karena mata yang
dipenuhi oleh airmata, Dinda tak melihat jelas tulisan-tulisan yang Dina tulis.
Dari sekilas yang ia baca dari halaman ke halaman, buku harian itu berisi
kejadian-kejadian yang ia alami saat hidup. Karena lelah menangis, Dinda
meletakkan buku harian Dina di atas mejanya, dan bergegas tidur masih dengan
mengenakan baju hitamnya. “aku lanjutkan esok saja membacanya, di sekolah,”
pikir Dinda seraya menarik selimutnya dan memejamkan mata.
* * *
Setelah
bersiap-siap, Dinda dan mata sembabnya turun untuk sarapan.Mama yang ada di
dapur memerhatikan wajah Dinda.Pucat.Pasi.
“Dinda,
nak, kamu yakin bisa bersekolah?” Tanya mama dengan sedikit khawatir.
“iya
ma, Dinda bisa kok. Masalah yang kemarin yaudah yang kemarin.Dinda harus tetep
semangat sekolah, meskipun tanpa…” dinda sengaja menggantungkan kalimatnya.
Terasa perih jika ia harus melanjutkan nama itu.
“iya
mama ngerti kok. Yaudah kalo gitu sarapan dulu ya, nanti biar kakakmu yang
nganter ke sekolah.”
“oke,”
jawab Dinda seraya mencomot sehelai roti yang telah diolesi selai jeruk.
Tiba di
sekolah, semua anak memerhatikan Dinda.Lebih tepatnya mata Dinda yang sangat
kelihatan sembab, akibat menangis semalam. Di kelas pun begitu, anak-anak
bergerombolan mengerumuni Dinda. Sebagian anak-anak bertanya tentang Dina,
sedangkan sebagian anak-anak yang mengerti kronologi meninggalnya Dina malah
bertanya tentang mata Dinda yang sembab.Dinda menjawab pertanyaan mereka
walaupun tidak sedetail mungkin. Dinda tak mau berlama-lama mebahas tentang
Dina, yang akan membuatnya kembali menangis.
Istirahat
tiba, Dinda sengaja menjauh dari teman-teman kelasnya.Ia memilih untuk
beristirahat di pohon belakang sekolah yang lumayan sepi. Ia kembali membuka
buku harian Dina dan membacanya dengan detail.
“10 February 2010. Hari yang menyenangkan,
menghabiskan waktu bersenang-senang dengan anak jalanan yang tinggal di bawah
jembatan, dengan sedikit memberi uang untuk mereka makan.Ternyata mereka tak
seburuk orang-orang bilang. Anak bawah jembatan tidak semua berandalan,
buktinya mereka semua baik kepadaku…”
Dinda
menutup buku harian itu, lalu bergegas menuju kelas. Tiba-tiba ia memiliki ide
yg sangat cemerlang. Ya, Dinda memiliki cara untuk tetap merasa dekat dengan
Dina.
* * *
Pulang
sekolah, Dinda tak langsung menuju rumahnya.Ia memiliki satu rencana yang harus
ia laksanakan. Ia bergegas menuju kuburan dimana Dina dimakamkan disitu. Tiba
di gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan nama Dina itu, Dinda jongkok di
sampingnya. Sambil mengelus batu nisan itu, Dinda berkata, “sorry, Din, aku
udah lancang ngambil diary kamu. aku cuman pengen kita tetep ngerasa deket
meskipun sekarang kita ada di dunia yang berbeda aku tetep sayang kamu kayak
sayang sama sodaraku sendiri. Semenjak kamu pergi, hidupku tuh sepi banget Din.
Gak ada lagi julukan cewek kembar beda muka. Gak ada lagi ejekan cewek lesbi,
meskipun aku benci banget ejekan itu.Gak ada lagi yang ngajarin aku belajar,
gak ada yang nenangin atiku pas lagi emosi. Semuanya bakal beda Din. Kalo kayak
gini, mending kita musuhan aja daripada beda dunia. Tuhan lebih sayang kamu deh
kayaknya, makanya kamu lebih dulu pergi daripada orang-orang tua di luar sana.
Semua orang kangen kamu, terutama aku. kamu yang tenang ya di sana, sering-sering
juga maen ke rumahku, tapi jangan bikin kaget ya, hehe..” ucap dinda sambil
sesekali menyeka airmatanya. Puas berkangen-ria dengan makam Dina, Dinda
langsung menuju ke tempat kejadian berlangsung.
Bawah
jembatan itu ramai oleh ibu-ibu dan beberapa anak kecil. Dinda, dengan hati
yang berdebar-debar menghampiri orang-orang itu. Ia memanggil anak kecil
perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Ia menyuruh anak itu memanggil teman-teman
sebayanya. Anak kecil itu langsung menjerit dan memanggil
teman-temannya.Segerombolan anak kecil itu kini mengelilingi Dinda.Dengan
gelagapan, Dinda membagikan selembaran uang sepuluh ribu kepada anak-anak kecil
itu.Awalnya semua kegiatan itu lancar, namun sepeninggal anak-anak kecil tadi,
tiba-tiba semua ibu-ibu dan bapak-bapak menghampirinya dan mengantri meminta
uang. Dinda gelagapan, uang yang ia bawa adalah untuk anak-anak kecil. Ibu-ibu
dan bapak-bapak itu tak termasuk hitungan.Dinda berusaha menolak orang-orang
tua itu dengan halus.
“maaf
pak, bu, uang ini buat anak-anak kecil.”
“saya
dulu juga pernah kecil kok,” jawab salah satu dari ibu-ibu itu.
“tapi
uang ini untuk anak yatim, bu,” elak Dinda yang mulai gemas.
“bapak
saya baru meninggal kemarin neng,” ibu yang lain kembali menjawab. Dengan
terpaksa, Dinda membagikan sebagian dari uang itu kepada orang-orang tua.
Setelah antrian habis, ibu yang tadi berkata bahwa ia adalah yatim berkata,
“doakan bapak saya meninggal ya, biar besok eneng bisa datang lagi ke sini,
bagi-bagi duit.” Setelah berkata begitu, ibu itu tanpa dosa langsung pergi
meninggalkan Dinda.Dinda hanya bisa mengelus dada sambil berkata sabar berulang
kali dalam hati.Setidaknya satu kebaikan telah terlaksana.
* * *
Pulang dari bawah jembatan itu,
Dinda langsung melepas pakaiannya dan bergegas mandi, bau badannya sudah sangat
menyengat.Usai mandi dan berganti pakaian, Dinda kembali membuka buku harian
Dina. Dinda tak membaca semua tulisan di
buku itu, ia hanya mengambil beberapa kutipan kebaikan yang Dina lakukan
untuk kembali Dinda lakukan agar merasa dekat dengan Dina.
“14
February 2010. Selamat hari valentine! Baru pulang dari panti asuhan,
bagi-bagiin coklat buat anak-anak itu. Senengnya bisa ngeliat mereka seneng,
meskipun cuman ngasih sebatang coklat hehe…”
Dinda kembali tersenyum. Dia tahu
apa yang akan dia lakukan esok.
* *
*
Seperti biasa, pulang sekolah Dinda
tak langsung menuju rumahnya.Dia menuju ke sebuah supermarket terdekat dan
membeli coklat sebanyak mungkin.Ia kemarin telah menelpon panti asuhan yang
dulu pernah didatangi oleh Dina. Tentu saja bukan dari buku harian itu ia
mendapatkan nomer telpon panti asuhan, tetapi dengan sedikit kepintaran otaknya
untuk melacak. Setelah memasukkan coklat-coklat itu ke dalam bagasi motornya,
Dinda langsung tancap gas menuju panti asuhan.
Tiba di depan bangunan jaman dulu
yang lumayan besar, Dinda memencet bel yang berada di samping pagar panti
asuhan itu. Tak lama, wanita baya berjilbab keluar dan membukakan pintu untuk
Dinda.
“Sore, bu,” sapa Dinda sopan.
“iya sore, ada apa ya nak?” Tanya
ibu itu.
“saya mau ketemu anak-anak panti
ini bu, mau ngasih sedikit makanan ringan,”
“oh iya iya, mari masuk. Kebetulan
anak-anak sudah pada bangun, mungkin masih mandi,” kata ibu itu sambil
mempersilahkan Dinda masuk.Panti itu memiliki halaman yang lumayan besar,
mungkin dengan maksud untuk memudahkan anak-anak bermain, jadi tak perlu sampai
keluar panti. Benar saja, di dalam panti itu masih banyak beberapa perabotan
jaman dulu, contohnya kursi goyang, guci jaman dulu, replica pistol besar, dan
beberapa benda lain.
Setelh mempersilahkan Dinda duduk,
Ibu yang tadi membukakannya pintu, masuk untuk memanggil anak-anak.Tak lama,
wajah lucu anak-anak itu muncul.Spontan Dinda langsung berdiri untuk menyambut
anak-anak itu. Setelah memperkenalkan diri, Dinda langsung membagikan coklat
yang ia bawa. Syukurlah coklat itu ternyata cukup untuk anak-anak panti itu.
Benar kata Dina, membagi kebahagiaan bersama orang lain itu menyenangkan. Kini,
Dinda sendiri yang merasakannya.
Usai bergurau dan mengucapkan
terima kasih pada pengasuh panti asuhan itu, Dinda pamit untuk pulang.Sepanjang
perjalanan, senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Dan ia siap untuk kembali
melakukan kebaikan.
* * *
Hari
ini hari minggu, jadi Dinda tak perlu menunggu waktu pulang sekolah untuk
kembali melakukan kebaikan.Hari ini adalah jadwal Dinda ke rumah sakit, lebih
tepatnya ke ruang yang khusus untuk orang yang terkena penyakit kanker seperti
Dina.Ketika Dinda membaca lembaran kebaikan Dina selanjutnya, Dinda tau bahwa
tempat yang dimaksud oleh Dina adalah rumah sakit tempatnya dulu dirawat, juga
tempat dimana nyawanya direnggut. Ketika masih hidup Dina pernah meminta Dinda
untuk menemaninya ke suatu tempat yang ternyata adalah rumah sakit.Dina tak
mengizinkan Dinda untuk ikut masuk. Dan sekarang Dinda tau apa yang dilakukan
Dina waktu itu. Dina ingin agar Dinda tak mengetahui niat baiknya.Namun kini
semua terbongkar melalui buku harian Dina.
Dinda menyusuri koridor rumah sakit sambil
celingak celinguk mencari papan nama yg bertuliskan ruang khusus penyakit
kanker. Lelah berjalan, Dinda memutuskan untuk bertanya pada receptionis.
“lurus aja mbak, nanti belok kiri, sebelahnya kamar mayat, nah itu ruangannya,”
jawab receptionis itu. Setelah berterima kasih, Dinda pun langsung menuju ke
ruang yang dimaksud.
Pelan-pelan,
Dinda membuka pintu itu. Di dalam sana banyak terdapat orang-orang yang mungkin
sebayanya, ada juga orang sudah sangat tua, bahkan anak kecil pun juga ada.
Bukan, itu bukan tempat mereka tidur, tapi itu adalah tempat mereka bermain
atau sekedar berbicara pada orang senasibnya.Beberapa dari mereka ada yang
kepalanya telah botak, ada juga beberapa yang rambutnya tipis, mungkin akibat
rontok.
Hari in jadwalnya untuk bernyanyi didepan mereka
semua dan membagikan beberapa balon. Karna memang telah terbukti bahwa balon
dan music dapat mengembalikan mood. Tadi Dinda sempat bertemu dengan dokter yg
dulu menangani Dina saat masih hidup untuk meminta izin menghibur orang-orang
yg terkena penyakit kanker seperti Dina. Dokter itu tentu saja mengiznkanya.
Dokter itu masih mengenali Dinda, karena Dinda lah satu-satunya orang yg
sempat-sempatnya membacakan pelajaran yg diajarkan hari itu kepada Dina ketika
Dina dalam keadaan koma. Waktu itu Dinda beranggapan bahwa orang koma itu
sebenarnya dapat melihat apa yg kita lakukan, mendengar apa yg kita bicarakan,
karena hanya tubuhnya lah yg tergolek lemah, namun roh nya berada di sekitar
kita.
Dinda
masu ke dalam ruangan khusus penderita kanker dengan gugup mesipun ia ditemani
oleh suster. Tak ada yg memperhatikan Dinda. Dan seketika rasa gugup Dinda
berubah menjadi iba. Betapa merananya mereka. Di balik senyum dan tawa merekaa,
ada ketakutan yg sangat mendalam, takut meninggal mungkin, entahlah.
Dindapun
mendekati seorang nenek tak seberapa tua, dengan rambut gundulnya. Ia menyapa
nenek tua itu dengan senyum yg sangat dipaksakan, bagaimana mungkin ia dapat
tersenyum di tengah orang-orang yg menderita seperti itu. namun ia tetap
menahan tangisnya, ia mengingat kata dokter ketika Dina masih hidup, bahwa
sesungguhnya para pengidap kanker tak butuh airmata kasihan kita, ia tak suka
dikasihani, ia hanya ingin kita mengerti yg mereka rasakan, karna setiap orang
ingin dimenerti, pun mereka para pengidap kanker itu.
“apa
kabar nek?” tanya Dinda basa-basi. Yg ditanya hanya tersenyum sambil melihat
kea rah luar jendela. Nenek itu duduk diatas kursi rodanya dengan suster yg
mengawasi nenek itu.
“nenek
mau balon? Nih aku punya balon banyak. Nenek mau warna apa?” tanya Dinda lagi.
Nenek itu memerhatikan Dinda, kemudian mengangguk. Dinda pun memberikan balon
warna kuning yg sedari tadi digenggamnya.
“terimakasih,
nak,” ujar nenek itu.
“nyanyi
yuk nek, nenek kuat nyanyi kan? Kita nyanyi balonku sama-sama,” lagi-lagi nenek
itu mengangguk dan menyiapkan tangannya untuk bertepuk tangan mengiringi lagu.
Dinda
pun meminta suster yg menemaninya tadi untuk membagikan balon kepada semua
pasien di dalam ruangan itu. setelah semua memegang satu balon dalam genggaman
masing-masing, perlahan Dinda melantunkan lagu balonku, awalnya hanya suaranya
saja yg terdengar, naun sayup-sayup terdengar suster yg masing-masing menemani
pasien mereka ikut bernyanyi, semua pasien ikut bertepuk tangan seperti yg
nenek lakukan lalu ikut menyanyi pula. Kini dalam satu ruangan itu ikut
bernyanyi balonku bersama. Air mata yg tak bisa dibendung itu menetes. Betapa
terharunya Dinda melihat kebersamaan mereka. Ia pun memeluk seorang anak kecil
yg sedang bermain boneka di atas karpet lalu memangkunya, dan terus mengulang
lagu balonku hingga waktu mereka istirahat habis.
Sebelum
semua pasien kembali ke kamar masing-masing, tanpa di duga nenek itu
menghampiri Dinda yg masih memangku anak kecil, lalu memeluknya sangat erat.
Lalu seketika semua pasien itu ikut memeluk Dinda. ‘Oh Tuhan, andai waktu dapat
terhenti, biarkan aku dalam kedaan seperti ini, dalam dekapan erat mereka,’
do’a Dinda sambil meneteskan air mata
Keluar
dari ruangan itu, Dinda mendapati dokter berdiri di samping pintu.
“sungguh,
sifatmu dan sifat Dina sangatlah mirip. Saya benar-benar terharu melihat
kejadian tadi. Sama seperti ketika aku melihat Dina melakukannya pada pasien yg
serupa oleh Dina waktu itu. semoga saja nasib hidupmu tak semalang Dina ya,”
kata doter itu sambil menepuk pundak Dinda lalu kembali pergi. Dinda berdiri
terdiam, merenungi kata-kata dokter yg terakhir, tentang “nasib hidup semalang Dina”. Namun lekas-lekas
Dinda menghapus pikiran buruk itu dan bergegas pulang.